sumber gambar www.bintang.com |
Bahkan menurut pernyataan salah seorang tokoh nasional fenomena gelombang mudik hari raya Idul Fitri ini seperti memindahkan penduduk Negeri Jiran keluar dari wilayah negaranya. Betapa dahsyatnya yang tergambarkan hitungan perpindahan masyarakat dari kota seperti Jakarta yang pulang ke masing-masing kampung asalnya, hal ini juga yang menjadi urusan besar dan merepotkan pemerintah negeri ini setiap tahunnya.
Terlepas dari permasalahan di atas, mudik itu setidaknya menjadi hal yang penting. Bagi setiap orang yang sedang merantau, mudik memang suatu kata yang menyentuh rasa dan mengugah pikiran. Hal tersebut wajar setiap insan punya fitrah bathin untuk rindu pada kampung asalnya kampung kelahiran yang telah membesarkannya, yang telah menyimpan banyak kenangan indah masa kanak-kanak.
Pada hakekatnya kita semua ini adalah sedang merantau. Rasa rindu pulang kampung adalah fitrah setiap orang secara tidak sadar yang kadang keluar memberi gambaran akan naluri hakiki manusia akan rindu pada Sang Khalik hanya sayangnya kebanyakan dari kita tidak sampai memaknainya lebih dalam kepada hakikat.
Manusia asalnya dari tanah dan akan kembali ke tanah atau tegasnya seperti dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 156: “ ….Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada Allah kami kembali.”
Kita semua akan “mudik” karena kita semua pasti mati inilah mudik yang hakiki, hanya pertanyaannya sekarang sudah rindukah kita dengan kampung asal kita kampung akhirat yang abadi yang pasti kita akan datangi?Orang mudik akan bahagia ketika sudah sampai di kampungnya karena sebelumnya di negeri rantau sudah sangat kangen dan merindukan ingin pulang dengan berbagai rencana dan rekaan perjumpaan saat tiba di kampung halaman nantinya. Maka sudahkah kita merindui kampung akhirat dan kangen dengan perjumpamaan melihat wajah-Nya? Bukankah orang yang cerdas menurut Rasul adalah orang yang selalu mengingat kematian.
Ketika akan mudik tentu harus punya persiapan, harus punya perbekalan, agar lancar segala sesuatunya sampai tujuan nanti sehingga sampai di kampung pun menjadi senang dan penuh percaya diri.
Begitupun mudik ke kampung akhirat kita harus menyiapkan bekal semakin matang dan banyak bekal yang kita bawa semakin baik tentunya, dan sebaik-baiknya bekal untuk pulang ke akhirat pastinya adalah taqwa, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 197: “….berbekalah, dan sebaik-baiknya bekal itu adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
sumber gambar www.koranperdjoeangan.com |
Dan seolah menjadi momentum yang pas jika fenomena dan tradisi mudik tidak terlepas dalam suasana bulan puasa di mana bulan yang menjadi sarana yang disediakan untuk menjadi mukmin sejati dalam rangka meraih takwa untuk bekal mudik menuju kampung akhirat nanti.
Semoga fenomena mudik ini bisa menjadi refleksi yang membekas dalam setiap individu Muslim di negri ini untuk bisa diambil pesan hakikinya dan harapannya tidak hanya sebatas fenomena mudik saja tetapi setiap fenomena kehidupan ini untuk bisa menjadi itibar pada diri kita, seperti kisah seorang ahli hikmah yang ditanya seorang awam.
“Apa makna hidup menurut Anda?”“Hidup bagiku ketika aku bangun pagi dan sampai senja nanti aku tidur kembali, aku tidak tahu apakah aku akan bangun kembali keesokan harinya.”“Tapi bukankah semua orang juga tahu kalau semua orang akan mati ?”“Iya semua orang tahu, tapi tidak semua orang merasakannya.”
*) YJ Adin Sampurna
Comments