Skip to main content

SURAU DAN LAPAU

Ketika pertama kali saya datang ke kota Bukittinggi kira-kira enam tahun yang lalu, saya sempat heran dengan pemandangan banyaknya lapau-lapau yang ramai dari para pengunjung kaum adam dewasa kisaran usia baru berumah tangga hingga usia kakek -kakek yang sudah layak bercucu dan bercicit.

Dan ternyata ramainya ada jam dan waktunya, biasanya pada pagi hari selepas subuh dimana waktu menjelang kerja atau pergi ke sawah dan ladang bagi mereka yang bertani, serta malam hari selepas Isya yang biasanya hingga menjelang tengah malam.

Mereka berkumpul atau “melapau” seolah sudah menjadi rutinitas wajib dimana mereka akan saling berinteraksi disetiap harinya satu sama lain di tempat yang sama dengan ketemu pengunjung yang sama pula sekedar ngopi dan makan ketan atau lontong sayur dan mengobrol ngalor ngidul  yang justru menjadi sarapan utamanya .

Saat saya mau menikah dengan orang Agam Timur kawasan Bukittinggi coret, suatu ketika salah seorang teman asli Bukittinggi berpesan padaku bahwa nanti kalau menjadi Sumando (Menantu) karena di Minang ini seorang lelaki akan tinggal di rumah  istrinya sudah otomatis akan menjadi bagian masyarakat kampung istrinya, maka “kamu nanti rajin-rajinlah ke lapau agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat biar kehadiranmu disana diakui” pesannya.

Pesan teman saya iyakan dan kurasa itu saran bagus untuk eksistensiku nantinya. Sebagai orang rantau yang masih lugu, tips itu seolah sesuatu yang tidak boleh aku lalaikan. Namun setelah Menikah di hari pertama dan kedua hingga satu minggu aku belum juga merealisasikan pesan temanku pergi ke lapau yang banyak pengunjungnya dan nimbrung berbasa-basi disana,

Tapi justru karena aku punya kebiasaan pergi sholat berjamaah ke surau atau masjid, justru aku malah sering berkunjung ke Surau terdekat dari rumah dan selepasnya sholat berlama-laman berinterkasi dengan para Jemaahnya sehingga aku merasa inti pesan dan saran temanku sudah kudapatkan dengan pergi ke Surau toh aku sudah bisa bersosialisasi dengan bermasyarakat.

Dilain hari aku sempatkan juga pergi ke Lapau, mencoba memesan ketan, gorengan dan segelas kopi hitam, tapi sepertinya aku masih ‘gagal gaul’ walaupun tampaknya obrolannya sangat seru dan menarik tapi aku tidak bisa juga  masuk prekwensinya, 'gagal faham' malah suasana ruangan yang penuh asap rokok sudah membuat aku tidak kerasan dan tak mampu bertahan lebih lama lagi, sehingga aku pun ‘KO’ dengan pulang dan keluar lebih cepat dibanding pengunjung yang lainnya.

Hingga sekarang untuk Lapau aku belum dapat suasananya entah untuk suatu saat nantinya, tapi biarlah aku tetep konsisten ke Surau, karena di Surau disamping aku bisa bersosialisasi, berpartisipasi, dan yang tidak bisa disamakan dengan berlapau, di Surau aku lebih bisa irit, jauh lebih maslahat, dapat fahala dan berkah usia  tentunnya, InsyaAllah.


Comments

Popular posts from this blog

Simpang Tanjung Alam dengan Beberapa Titiknya

Bagi anda yang berdomisili di Kota Bukittinggi dan sekitarnya tentu tidak asing lagi dengan namanya Simpang Tanjung Alam di kawasan Agam Timur, atau bagi anda yang sedang berencana melancong ke Bukittinggi dari arah Pekanbaru maka akan melewati simpang ini yang jaraknya  kurang lebih 3 KM sebelum masuk gerbang kota Bukittinggi. Anda boleh kenali beberapa titik yang bisa anda singgahi sekaligus 'nikmati'. Masjid Nurul Huda Masjid Nurul Huda Masjid ini sangat pas untuk disinggahi para pelancong yang sedang berada dalam perjalanan jalur Pekanbaru - Padang, letaknya memang tidak dipinggir jalan raya sedikit masuk sekitar 100 meter dari simpang empat arah ke kapau,kalau dari arah Padang atau Bukittinggi sebelah kiri posisinya sebaliknya sebelah kanan kalau dari arah Pekanbaru. Masjidnya bagus dan bersih, halamannya cukup luas untuk parkir,  toilet serta tempat wudhunya terawat dan yang terpenting tidak pernah kekeringan air.  Bubur Ayam Bandung Bubur Ayam B

Legenda Wilanagara

Tugu Gerbang Puser Dayeuh. ( sumber foto:Asep Sudiana ) Wilanagara adalah sebuah nama desa yang terletak di timur kawasan Jawa Barat, atau tepatnya desa yang berada di wilayah pemerintahan kecamatan Luragung kabupaten Kuningan. Membahas sebuah tempat ada yang menarik biasanya adalah mengenai asal-usul namanya, yang biasanya berlatar belakang sejarah legenda atau mitos dari cerita orangtua dahulu yang terkadang dihubung-hubungkan supaya terdengar nyambung tak jauh dari namanya yang kadang secara ilmiah dari fakta sejarahnya tidak ada hubungannya, namun walau begitu legenda merupakan hasil budaya yang perlu juga untuk diapresiasi karena sebetulnya sarat  pesan dan symbol untuk memberi motivasi dan warna hidup suatu masyarakat atau  setidaknya bisa jadi dongeng untuk " ngabobodo anu Cengeng " istilah Sundanya. begitupun dengan nama Wilanagara bagaimana sejarahnya seperti apa asal-usulnya?  Asal-usul Wilanagara menurut beberapa Sumber bahwa dahulu  namanya adal

Jalan HAMKA Bukittinggi

masjid jami tarok sumber foto www.panoramio.com Jalan Prof DR Hamka atau lebih dikenal dengan Jalan HAMKA di Kota Bukittinggi ini panjangnya hanya kurang lebih 2 KM saja, dimana ujung pangkal jalannya bersambung dengan dua jalan utama lainnya, ujungnya bertemu jalan Sutan Syahrir dan di pangkalnya bermuara di Jalan Soekarno Hatta. Dari persimpangan jalannya, setidaknya ada 3 Simpang utama yang strategis dan terkenal yang merupakan bagian dari jalan HAMKA : Simpang Mandiangin Simpang Landbow Simpang Tarok Simpang Mandiangin Pangkal jalan yg bermuara dengan jalan Soekarno Hatta adalah Simpang 4 dimana menghubungkan ke Pasar Bawah dan Pasar Banto, ke Mandiangin sendiri atau ke arah Gulai Bancah menuju Kantor Walikota dan satunya ke arah Tanjung Alam yang  merupakan jalur utama ke Kota Payakumbuh. Simpang Tarok adalah ujung jalan HAMKA yang bertemu Jl. Sutan Syahrir membentuk Simpang Tiga yang menghubungkan ke Pasar Aur Kuning dan ke Lapangan Kantin menuju Pusat Kota Bukit