Ketika pertama kali saya datang ke kota Bukittinggi kira-kira enam tahun yang lalu, saya sempat heran dengan pemandangan banyaknya lapau-lapau yang ramai dari para pengunjung kaum adam dewasa kisaran usia baru berumah tangga hingga usia kakek -kakek yang sudah layak bercucu dan bercicit. Dan ternyata ramainya ada jam dan waktunya, biasanya pada pagi hari selepas subuh dimana waktu menjelang kerja atau pergi ke sawah dan ladang bagi mereka yang bertani, serta malam hari selepas Isya yang biasanya hingga menjelang tengah malam. Mereka berkumpul atau “melapau” seolah sudah menjadi rutinitas wajib dimana mereka akan saling berinteraksi disetiap harinya satu sama lain di tempat yang sama dengan ketemu pengunjung yang sama pula sekedar ngopi dan makan ketan atau lontong sayur dan mengobrol ngalor ngidul yang justru menjadi sarapan utamanya . Saat saya mau menikah dengan orang Agam Timur kawasan Bukittinggi coret, suatu ketika salah seorang teman asli Bukittinggi berpesan pada
Jernih Airnya Dapat Ikannya