Siapakah yang punya pengalaman
misteri di puncak Gunung Singgalang?
Sepertinya mungkin baru aku, atau ada beberapa diantara para pendaki yang
pernah mendengar, melihat, atau bahkan berjumpa sesosok lelaki di tepi Telaga Dewi
dalam temaram sinar rembulan di kawasan puncak Gunung Singgalang .
Kami bertiga akhirnya sudah sampai
puncak Singgalang.
“Jam 1.30 “ Ucapku
dengan napas tersenggal
“wuih ternyata udah sampai nih,
Telaga Dewi ” sambung Kenyud sambil
menjerembabkan bokong di antara lintangan akar dan pohonan lapuk yang sudah rebah.
Kenyud dan aku tampak kepayahan, beda
dengan Meeng yang seperti sudah terbiasa dan sudah hapal betul medan gunung
ini.
“Eng, berarti kita udah sampai
nih..?” imbuh Kenyud lagi sambil menenggak botol air mineral.
Yang ditanya hanya tersenyum dan
mengangguk-angguk saja sambil menurunkan kerir yang nemplok menjulang dari punggungnya.
Kenyud, Meeng, dan aku Kunyan
adalah nama rimba atau nama julukan tradisi anak pecinta alam, kami dahulunya adalah
trio yang kompak di angkatan dan
kepengurusan mapala kampus, namun akhirnya setelah lulus, kami dipisahkan untuk
meneruskan jalan hidup masing-masing. 5 tahun sudah berjalan, aku dan kenyud
malah sudah berkeluarga dan punya anak, tinggal Meeng seorang yang memang masih lajang sampai sekarang, aku
dan kenyud menetap dan tinggal di kawasan yang sama di Ibu kota, dan masih
lumayan, masih kerap ketemuan aku di selatan kenyud di wilayah barat ibukota.
Sedangkan Meeng, yang aslinya sebenarnya orang pesisir selatan jawa tengah harus
merantau ke sumatra.
Kerinduan naik gunung bareng sebenarnya
sudah lama kami impikan, tapi baru bisa
terlaksana di akhir tahun ini, awalnya
dari iseng-iseng Kenyud mendapatkan kontak dengan Meeng dari grup FB MAPALAKU lalu
akhirnya dari email dan chating kami sepakat untuk mengisi libur akhir tahun
untuk reunian sekaligus mengobati kerinduan hobby lama, dan atas saran Meeng
yang kebetulan berdomisili di Sumatra Barat,
kami diajak untuk mendaki Gunung Singgalang-Merapi, dengan memulai start dari Singgalang dahulu, alasan
Meeng “Baiknya kita coba dari trek yang berat kalian masih pada kuat kagak ?”
tantangnya saat kami hubungi di bandara Minangkabau lewat ponsel.
“Ayo kita pasang tenda Dumnya
kita langsung ngekemp disini saja”
saranku sambil mencoba bangkit
“Jangan disini Nyan,terlalu dekat
telaga ” sergah Meeng
“Iya bener takut ada Tsunami,
repot nanti pas besok bangun kita terapung dalam tenda ditengah-tengah telaga hahaha” canda Kenyud menimpali.
Meeng yang masih tampak bugar segera
berinisiatif mencari lokasi yang pas, tampaknya
cahaya bulan sangat membantu dalam menemukan pelataran yang sedikit lapang dan
rata.
Setelah tenda tegak tanpa prosesi
api unggun, serta makan dan minum lagi, kami langsung masuk tenda seolah seperti yang kena
sirep oleh letih dan kantuk yang menyatu, kami berhimpitan dalam kantong tidur masing-masing.
*****
“Aduuh dinginnya “ geliatku yang
terbangun karena suhu udara yang entah berapa derajat celcius, terang saja kamipun
tadi tidak sempat membuat api unggun.
Jam di HP ku baru menunjukan
pukul setengah 3 pagi, masih jauh ke shubuh, ah karena terjaga aku justru
tersiksa, mendadak perutku tiba-tiba mules oo..tak tahan lagi, aku buru-buru menggeladah
jaketku mencari senter dan mengambil tisu basah serta sebotol air yang
tergeletak di sisi ransel, dengan tergesa keluar tenda lalu tersasak mencari
rumpun semak yang terdekat.
Tempat nongkrongku agak terbuka sehingga
bisa leluasa memandang ke arah tenda yang berlatar telaga. jarak posisi
jongkokku ke tenda hanya berkisar 7 meter, dan sekitar 17 meter dari telaga sehingga komposisi ini menyuguhkan suatu pemandangan malam
yang indah, dalam paduan temaram sinar rembulan,
nuansa begitu eksotis namun misterius.
Hajatkupun sudah terpenuhi perutpun
sudah terasa nyaman, seperti biasa
bersih-bersih seadanya dengan tisu basah dan sebotol air mineral.
Satelah itu aku berdiri dan melangkah kembali ke arah tenda, namun tiba-tiba
aku dikejutkan oleh sesosok siluet tubuh
lelaki yang berdiri anggun mematung di tepi telaga “ah siapa ya..pendaki yang baru
datang kah.” tebakku.
“Ooi..kemarilah..!!” sekonyong-konyong sosok lelaki di tepi telaga
itu memanggilku.
“kemarilah..kawanilah aku disini,
mendingan kita menunggu pagi di tepi telaga ini..”
Aku agak ciut dibuatnya, namun ku
coba menstabilkan diri dan menghampiri menyambut ajakannya.
“kenalkan Asen bang “ kataku sambil
menyebutkan nama asliku dan mendekat mengulurkan tangan
“Jagat” sambutnya hanya
mengangkat tanganya setengah melambai.
“Sendiri aja Bang ?” dia tidak
menjawab malah berpaling membuang muka ke Telaga.
“O iya kami bertiga Bang, temanku
berdua sedang tidur di tenda” basa-basiku yang juga tidak dipedulikannya
membuatku bertambah keki.
Akupun akhirnya hanya diam
memperhatikan dia dalam jarak satu langkah di belakangnya, aku coba perhatikan
sosoknya, perawakannya lumayan profosional dan ideal untuk ukuran pria dewasa taksiran
usia di atas 30 tahunan, sayang aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena
cahaya bulan yang temaram mulai tersamarkan oleh kabut pekat, dingin, basah,
merembes di kulit wajah.
“Sobat, perhatikanlah telaga yang bening, dingin, nan elok ini adalah
lambang pujaan dan harapan, yang menjadi
angan setiap mahluk , karena sejatinya manusia adalah pendamba surgawi”
Dia mulai berkata-kata dengan
kalimat dan gayanya yang bak seorang
pujangga dengan membuka dan merentangkan kedua tangannya menghadap telaga dengan
dagu sedikit tengadah, ah suatu suguhan teatrikal yang menarik komentarku dalam
hati.
“Sobat, tahukah kamu tempat yang indah seperti ini, dahulu kala sering
disinggahi para peri dari kahyangangan.”
Lelaki itu diam memberi jeda.
Namun akupun hanya diam terpaku
memperhatikannya tanpa jawaban dan sanggahan, walau dalam hatiku merasa geli
dan aneh, kok jadi tahayul begini seperti dongeng yang kubaca dalam cerita-cerita
rakyat saja, tapi aku dibuatnya heran, dia
seolah tahu apa yang terlintas dalam
pikiranku.
“Iya sepertinya kamu pernah dengar legenda Jaka Tarub, ya seperti
itulah dulu kala.. para bidadari atau peri, bahkan bisa dijumpai di siang hari,
sekarang... ooh sulitnya , semenjak jaman ini sudah tidak punya lagi kesopanan,
dimana-mana mata-mata mengintai, segala lokasi dijadikan sarana rekreasi,
hingga tidak ada lagi privasi bagi para peri.” Tuturnya melebar dan
emosional.
Lalu dia membungkuk, lalu jongkok
menekuk lutut menengadah dan menghentak, berteriak serak
“Sudah beribu malam purnama aku berusaha datang ke semua telaga
semarcapada, ooh..akankah dia mau kembali untuk memaafkan kesalahanku dan memuji
kesetiaanku” nada suaranya semakin
sendu aku terbawa larut dalam teatrikalnya.
“ah siapakah yang di maksud Bang?”
tanyaku tanpa suara, tapi seperti tadi dia seolah mendengar suara hati.
“dia adalah salah satu diantaraya, bidadari cantik yang kuperdayai oleh
akal dan intrik yang licik.” Jawabnya sesal.
Aku bertambah heran,
jangan-jangan ini lelaki titisan Jaka Tarub tebakku semakin ngelantur.
“o ya, kamu seorang pecinta alam bukan? Kau mencintai alam lestari? Maka
perlakukanlah alam bak kekasih, cintai, jangan khianati, jangan eksploitasi.”
Aku tertegun diam, mencoba
mencerna apa yang dikatakannya, ah apa iya aku seorang pecinta alam, rasanya
belum. Aku baru penyuka alam, hanya penikmat keelokannya, pengagum
keindahannya, baru sebatas itu komitmenku, sekedar merindukannya, merindukan
alam lestari.
Betul-betul aku malu sendiri, kata
tersiratnya betul-betul menikam, memang benar kebanyakan manusia sekarang
datang ke alam hanya untuk senang-senang belaka, berekreasi, lalu tanpa malu
dan rasa bersalah mengotori dengan sembarangan membuang sampah-sampah kemasan,
hingga ke sampah keji ‘maksiat’. Berbeda dengan manusia dahulu, yang menjadikan
gunung, rimba, goa, Sungai, sebagai guru mencumbunya dalam sikap semedi, refleksi, olah rasa dan pikir ‘mentadaburi’.
Dalam hanyut merenung, tiba-tiba
ada tangan yang dingin dan kuat menepuk dan menggoncangku.
“hei ngapain, tidur apa ngelamun
..?” Serunya.
“Astagfirullah,” pekikku
terkesiap menatap kenyud yang tegak di sampingku.
“Si Meeng, si meeng mana Nyan..”
tanya Kenyud sambil mengambil posisi jongkok ke arah telaga.
“bukannya ada di tenda” kataku
heran sambil melihat kesana kemari memastikan keadaan sekitar.
“engga liat tuh, mungkin pergi
setor di rumpun adelwis hehehe, ayo kita sholat shubuh duluan aja.” Candanya ringan tanpa beban.
Aku sendiri masih dibuatnya
bingung dan terkesima dengan kejadian yang barusan dialami, kemana perginya lelaki tadi.., halusinasikah aku, atau...Hiiy bulu kudukku mulai berdiri,
aku tergesa-gesa segera berwudhu.
Yeje Sampurna
Comments