Menjelang senja dalam panorama
pegunungan yang damai, keteduhan Merapi dan Singgalang menyejukan pandangan
mata yang melihatnya. Aku sengaja menepi dan singgah di sebuah lapau
berbentuk dangau. 2,5 jam perjalan dari Padang sebenarnya tak terlampau
melelahkan, namun lapau ini, dan panorama pegunungan sore di kawasan aia angek, berat hati untuk tidak
disinggahi, sepiring lamang sikaladi dan kopi kawa daun
dengan wadah tempurung hitam nan anggun menjadi nostalgia tersendiri.
“Jadi terbuat dari daun kopi ya
mak,?” tanyaku heran dan menyelidik suatu ketika .
Kopi daun adalah warisan kegetiran hidup orang tua dahulu, saat jaman diberlakukan tanam paksa oleh penjajah Belanda, kaum pribumi yang sejatinya pemilik lahan, ironisnya hanya menjadi buruh bahkan untuk menikmati kopi hasil kerjanya, di negrinya, di tanah airnya sangat sulit, karena buah kopi tidak disisakan oleh para penjajah yang serakah.
Maka terciptalah awal kreasi kopi daun itu begitu menurut Mak Zon saat sama-sama menikmati hidangan kopi kawa daun dengan gorengan bakwan ukuran jumbo di sebuah dangau di kawasan Tanjungalam empat tahun kebelakang.
Kopi daun adalah warisan kegetiran hidup orang tua dahulu, saat jaman diberlakukan tanam paksa oleh penjajah Belanda, kaum pribumi yang sejatinya pemilik lahan, ironisnya hanya menjadi buruh bahkan untuk menikmati kopi hasil kerjanya, di negrinya, di tanah airnya sangat sulit, karena buah kopi tidak disisakan oleh para penjajah yang serakah.
Maka terciptalah awal kreasi kopi daun itu begitu menurut Mak Zon saat sama-sama menikmati hidangan kopi kawa daun dengan gorengan bakwan ukuran jumbo di sebuah dangau di kawasan Tanjungalam empat tahun kebelakang.
Kenangan-kenanganpun terus hadir
dan mengalir dalam lamunanku, bahkan terasa segar sesegar angin pegunungan sore
ini, mungkin karena hadir kembali di ruangannya di ranah minangkabau walau
waktunya saja yang tak kembali, dan nikmatnya kopi kawa yang kuteguk menambah
lamunanpun semakin khusyuk.
**************
Pertama kali datang di ranah
Minang, berawal urusan magang di kota jam gadang keputusan itu sempat membuatku
mengerutkan dahi, “Bukittinggi, wah lumayan jauh.” Gumamku dalam hati. Namun
pada dasarnya tetap aku senang, karena dorongan jiwa petualang yang sudah semestinya
menyukai hal-hal yang menantang, dan juga karena komitmen kontrak kerja, yang harus
siap ditempatkan dimana saja.
Aku tinggal seorang diri, kost yang direkomendasikan
kawan kantor tempatku magang adalah sebuah
kamar yang terpisah dari rumah utama dan satu-satunya kamar yang disewakan oleh
pemiliknya. Rumah batu gaya arsitek Belanda adalah milik sepasang orang tua
berusia lanjut yang jarang ada di rumah
karena sering pergi mengunjungi anak- anaknya yang sudah hidup mapan di rantau
di Padang, Pekanbaru, dan di jawa.
Dan aku Hampir bisa dikatakan beberapa kali saja bisa ketemu pemilik kost selebihnya hanya lewat telepon untuk sekedar memastikan soal sewa dan keadaan kondisi rumah. Dan nama pemilik kostpun baru tahu setelah betul-betul memperhatikan tulisan diatas pintu depan rumah yang terbuat dari ukiran kayu bertuliskan ST. BANDARO BASA nama yang unik dan masih asing terdengar ditelingaku.
Dan aku Hampir bisa dikatakan beberapa kali saja bisa ketemu pemilik kost selebihnya hanya lewat telepon untuk sekedar memastikan soal sewa dan keadaan kondisi rumah. Dan nama pemilik kostpun baru tahu setelah betul-betul memperhatikan tulisan diatas pintu depan rumah yang terbuat dari ukiran kayu bertuliskan ST. BANDARO BASA nama yang unik dan masih asing terdengar ditelingaku.
Awal di kota Jam Gadang ini aku
masih kesulitan mendapatkan teman akrab, kawan kerja di kantor terkesan senior
dan semuanya yang pria rata-rata sudah berkeluarga hanya si Edi office boy yang
sering ku akrabi. Sampai suatu hari akhirnya aku menemukan teman yang istimewa
yaitu Mak Zon orang menyebutnya setelah
kutahu nama panjang adalah Endrizon, awalnya hanya karena sering singgah di
kedainya terutama setiap Sabtu pagi dan Minggu pagi sepulang marathon yang menjadi
hobbi baruku menikmati panorama alam Kota Bukittinggi yang masih asri, dengan jalan-jalan
kaki disekitar pacuan kuda Bukitambacang, mendaki ke kawasan Balai kota, dan
Istana Bung Hatta selanjutnya turun ke Luak
Anyia dan singgah di kedainya.
Memesan kopi dan sarapan lontong sayur menjadi langgananku, atau jika sedang tidak selera kuliner Minang, memilih alternatif mi rebus instan sampai akhirnya sering singgah dan berlangganan dan kerap juga mengobrol hingga aku dikenalkan pertama kali dengan hidangan baru teh talua yang saat di minum membuat jantung berdebar kuat awalnya sedikit mual tapi lama kelamaan membuat ketagihan.
Memesan kopi dan sarapan lontong sayur menjadi langgananku, atau jika sedang tidak selera kuliner Minang, memilih alternatif mi rebus instan sampai akhirnya sering singgah dan berlangganan dan kerap juga mengobrol hingga aku dikenalkan pertama kali dengan hidangan baru teh talua yang saat di minum membuat jantung berdebar kuat awalnya sedikit mual tapi lama kelamaan membuat ketagihan.
Mak Zon adalah seorang Lelaki
paruh baya yang ramah, pandai bergaul, luas wawasannya dan hobbi ngobrol,
sehingga membuat betah berlama-lama jika sudah berbagi cerita dan pengalaman. Kesibukan
utamanya hanyalah berkedai dibantu dengan istrinya Tek Neti, mereka terbilang keluarga kecil mapan bahagia yang hanya
memiliki seorang anak gadis yang baru kelas 2 SMA.
Nama anaknya Sri Rahayu yang bukan nama khas Minang tapi lebih pasnya nama khas Jawa, Mak Zon berkisah bahwa yang memberikan nama anak semata wayangnya adalah orang jawa teman langgananan warungnya, yang dulu bekerja sebagai pengawas bangunan proyek Perpustakaan Bung Hatta dan Kantor Walikota, di saat itu waktunya menunggu hari kelahiran Mak Zon meminta si Orang Jawa itu untuk memeberi contoh satu nama perempuan dan satu nama lelaki, dan sahabatnya itu memberikan nama Edi Handoko dan Sri Rahayu dan tentunya nama terakhirlah yang akhirnya dipakai.
Nama anaknya Sri Rahayu yang bukan nama khas Minang tapi lebih pasnya nama khas Jawa, Mak Zon berkisah bahwa yang memberikan nama anak semata wayangnya adalah orang jawa teman langgananan warungnya, yang dulu bekerja sebagai pengawas bangunan proyek Perpustakaan Bung Hatta dan Kantor Walikota, di saat itu waktunya menunggu hari kelahiran Mak Zon meminta si Orang Jawa itu untuk memeberi contoh satu nama perempuan dan satu nama lelaki, dan sahabatnya itu memberikan nama Edi Handoko dan Sri Rahayu dan tentunya nama terakhirlah yang akhirnya dipakai.
“Saya punya keinginan orang-orang
yang menurutku special yang akan memberikan nama anak-anakku, namun sayangnya anakku hanya satu.” Katanya mengenang, cara pria ini
menghargai orang memang sangat luarbiasa dan cara seperti ini jarang orang bisa
lakukan, aku yakin orang yang memberikan nama anak Mak Zon ini akan merasa
tersanjung dan secara otomatis akan berharap dan berdo’a kelak anak yang
dinamainya ini menjadi orang yang berguna dan sukses bahkan moril dan
materilpun rasanya bisa saja orang bersangkutan mau mensuportnya.
“Mak, aku salut sama Minangkabau ini yang telah
banyak melahirkan para pendiri bangsa ”
di suatu kesempatan aku memulai memutar diskusi tentang Budaya.
“Mungkin karena orang Minang ini
keturunan Iskandar Zulkarnaen.” Jawab Mak Zon sambil menyodorkan teh talua
pesenanku, Dalam legendanya memang dipercayai kalau urang Minang ini adalah
keturunan Iskandar Zulkarnaen yang terdampar di Gunung Merapi, sedikit
banyaknya Aku telah mengetahui sejarahnya dengan membaca buku tentang tambo
Alam Minangkabau yang aku baca waktu pertamakali berkunjung ke perpustakaan
nasional Bung Hatta.
“Walau para sejarawan mempercayainya
hal ini hanyalah legenda tapi kita ambil pesan yang tersiratnya, ini bisa jadi
simbol orang Minang membangun kepercayaan dirinya dan motivasi untuk menjadi
orang yang dipandang, seperti Orang Jepang yang sama-sama kita ketahui negara
maju dan moderen tapi mereka punya mithos yang diyakini kalau mereka adalah
keturunan Dewa matahari.” Pungkas Mak Zon dengan dialek Minangnya yang sangat
kental.
Alasan Mak Zon aku rasa cukup
masuk akal walau sebenarnya ada referensi lain yang aku yakini lebih tepat yaitu
pendidikan berbasis surau dalam budaya masyarakat Minang masa lalu. Lelaki
Minang yang setelah remaja dengan statusnya masih lajang mengharuskan mereka untuk tidur di Surau,
karena di rumah gadang mereka tidak punya hak lebih untuk tinggal dan menetap
sekedar hanya datang untuk makan dan menyimpan pakaian karena kamar-kamar dan
hak tinggal hanya untuk anak perempuan
sampai menikahnya nanti. Maka waktu yang banyak dihabiskan disurau untuk
mengkaji agama dan belajar berbagai keterampilan sehingga menjadi masa penempaan
diri dan pembentukan karakter mereka pada saatnya nanti menjadi bekal kebijaksanaan
yang dibawa ke rantau oleh umumnya para
lelaki Minang waktu itu, jadi Surau merupakan tempat perkaderan di masanya.
********************
Saat merasa sendiri dan kesepian
disitulah moment yang membuka lebih banyak waktu luang seseorang untuk merenung
dan mendapatkan khayalan-khayalan baru tentang hidup. Ternyata hanya 5 bulan lamanya telah membuatku bosan hidup
sendirian, dan mulai tidak kerasan menjadi anak kost. mungkin karena sebelumnya
aku selalu hidup bersama keluarga dari masa anak-anak hingga kuliah bahkan
sampai memulai kerjapun sebenarnya aku masih tinggal sama kedua orangtuaku dan
dua orang adik-adikku inilah aku betul-betul produk keluarga rumahan di Ibukota
.
“Andaikan aku sudah punya
pendamping hidup, aku pasti ga kesepian seperti ini hehe,” gumamku nakal sekaligus
jujur. Sehingga pikiran galau inipun akhirnya terbawa curhat sama Mak Zon,
beliau nampak senang dan menyemangati bahkan akan mencoba membantu mencarikan
calon, dan yang paling kuat penekanannya dalam komentarnya ialah “biar kamu
Asen menjadi Sumando Urang Minang”, serunya.
Seolah dikejar oleh waktu akupun
mengiyakan ajakan kawan kerjaku Pak Hendri untuk kenalan dengan sepupu dari
istrinya seorang gadis bernama Nirmala yang bekerja sebagai pengajar disebuah
TK ternama di kota Bukittinggi, dan perkenalan yang singkat itu telah membuat
langkahku semakin terpacu dan berani bahkan terbilang nekad melamar kepada
orangtuanya tanpa diwakili pihak keluargaku sendiri. Dalam penantian proses
kesepakatan keluarganya yang cukup memakan waktu lama,dalam satu bulan ini
ternyata aku baru menyadari bahwa aku sudah lama tidak bertandang ke warung Mak Zon, bukankah beliau akan
menjanjikan calon buatku, tapi bukankah pula aku akan segera mengakhiri masa
magangku di Bukittinggi yang rencana awalnya hanya 6 bulan, aku mulai terkena
batunya dari segala sikapku yang tergesa-gesa, akhirnya aku mulai ragu dan
menemukan kebimbangan ternyata keseriusan niatku belum teruji, ternyata aku hanya
terbawa nafsu sebagai pelampiasan rasa kesendirian dan kebosanan
hidup di rantau saja.
Aku memilih menjadi orang
pengecut yang mulai menjauh dari komunikasiku bersama Nirmala dan keluargannya
dan akupun mulai bimbang dan malas serta takut untuk datang ke kedainya Mak
Zon. Sehingga sampai di suatu hari aku dapatkan sms dari nomor yang tidak dikenal
tentang kabar duka yang bunyi pesannya menceritakan tentang suami dan ayahanda
tercinta yang sudah dipanggil oleh sang khalik. Innalillahi wa Innailaihi
rajiuun Mak Zon sudah tidak ada lagi aku dapatkan rasa sesal dan sedih,
ternyata sebulan aku tak bertandang beliau terkena serangan jantung meninggal secara
mendadak, dan semenjak itu pula berarti aku kehilangan sahabat istimewaku untuk
selamanya, beliau wafat dalam usia yang belum genap 50 tahun.
Terakhir aku sempat datang ke
kedai almarhum walau bukan di masa berkabung lagi, karena sudah 3 minggu dari
hari meninggalnya aku baru datang sekaligus pamitan pada Tek Neti dan Sri untuk
pulang lagi ke Jakarta karena masa magangku telah selesai dan aku akan kembali
ke kantor pusat untuk mulai kerja sebagai karyawan tetap, disaat itulah aku melihat
senyuman dan pandangan mata mereka yang kehilangan dalam raut muka senyum kusam
seolah menyimpan rasa kehilangan yang mendalam.
***************
Senjapun semakin kelam, Merapi
dan Singgalang mulai pekat tertutup awan, hidanganpun sudah tak bersisa tinggal
wadahnya dan remahan sampah daun pisang, setelah membayar semua hidangan aku keluar
meninggalkan dangau kawa dengan masih membawa lamunan yang menggelayut tak mau
susut.
Mobil yang kuparkir memang agak jauh dari dangau saat aku berjalan baru beberapa langkah sebuah mobil ambulan dengan logo sebuah lembaga sosial nasional ternama menepi dan parkir di samping mobilku, seorang lelaki yang duduk di samping supir keluar lebih dahulu dan membukakan pintu samping dan tampaklah 4 orang wanita berhijab berhamburan keluar sambil bercanda ketawa ria dan satu diantaranya membuatku tertegun sosok wanita yang mulai nampak dewasa dan bersahaja, ya aku sepertinya mengenalnya “Sri Rahayu” diapun nampak heran dan ragu terlihat dari sudut matanya yang melirik ke arahku.
Mobil yang kuparkir memang agak jauh dari dangau saat aku berjalan baru beberapa langkah sebuah mobil ambulan dengan logo sebuah lembaga sosial nasional ternama menepi dan parkir di samping mobilku, seorang lelaki yang duduk di samping supir keluar lebih dahulu dan membukakan pintu samping dan tampaklah 4 orang wanita berhijab berhamburan keluar sambil bercanda ketawa ria dan satu diantaranya membuatku tertegun sosok wanita yang mulai nampak dewasa dan bersahaja, ya aku sepertinya mengenalnya “Sri Rahayu” diapun nampak heran dan ragu terlihat dari sudut matanya yang melirik ke arahku.
Comments